Wanita, Pendidikan atau Keluarga?

8:30 AM

Saya dibesarkan di keluarga yang sangat memprioritaskan pendidikan, baik itu ilmu dunia atau ilmu akhirat. Manusia itu pembelajar tiada henti, dan ilmu dunia-akhirat itu harus diseimbangkan.

Kali ini, kita berbicara tentang wanita yang berpendidikan. Sayangnya, di Indonesia sendiri, hal ini masih seringkali jadi perbincangan.

Bagi saya, setiap wanita itu harus berpendidikan tinggi. Kalo kata Dian Sastro sih, ibu cerdas akan menghasilkan anak-anak yang cerdas. Dan saya sangat setuju akan hal tersebut.

Saya bahkan punya beberapa teman yang lebih tua dari saya, mereka bergelar master. Semasa kuliah, semangat belajar mereka memang sangat tinggi, sampai-sampai bikin saya iri. Setelah mereka lulus dari S2-nya, apa yang mereka lakukan? Ya, mengabdikan diri pada keluarganya, menjadi full time mommy untuk anak-anaknya.

Masalah? Buat saya kok engak ya. Justru bagi saya, itu adalah keputusan yang sangat mulia. Saking mulianya, nggak semua wanita bisa 'ridho' mengambil keputusan itu. Saya sendiripun belum tentu bisa. Kayaknya sih nggak bisa langsung untuk kayak gitu.

Sumber : disini.

Yang jadi masalah, adalah stigma yang masih berlaku di masyarakat Indonesia sendiri tentang wanita dan pendidikan yang tinggi.

1. Sayang amat, bu, ilmu dan karirnya!

Udah capek-capek kuliah sampai S2, bayar mahal-mahal, jungkir balik ngerjain skripsi atau tesis, di-PHP-in profesor, dll, ujung-ujungnya kok jadi ibu rumah tangga?

Atau... udah capek-capek kuliah, bayar mahal, susah-susah cari kerja, ngebangun karir.. lalu resign gitu ajaaa? Tau gitu mending gak usah kuliah, dong! Sama aja, ujung-ujungnya ngurus anak, dapur, sumur.

HELLLOOOOOO! Wake up, deh. Udah 2016 tau. Selagi mampu cari ilmu, ya lakukan. Apalagi kalau kitanya suka. Toh pada akhirnya, cara didik dan pola pikir ibu yang sekolah dengan yang tidak, akan sangat jauh berbeda. Nggak percaya? Sadari aja apa yang terjadi di sekelilingmu.

Harusnya ilmunya bisa buat ngembangin karir loh~! Nah yang ini, nih. 
Kalo menurut saya, hidupnya wanita itu nggak melulu soal duit. Lagipula, urusan cari nafkah itu kewajiban utamanya suami. Kalaupun wanita bantu cari nafkah, misalnya lewat bisnis atau wirausaha, kebanyakan sih karena passion aja, nggak bisa nganggur, cari teman/kesibukan, dll. Dan itu hukumnya gak wajib kan, asalkan si suami ridho, ya lakukan.

Terus ilmunya kemana? Ilmunya dipakai buat mendidik anak-anak, lah! Ingat, anak-anak cerdas tumbuh dari ibu yang cerdas. Anak-anak yang pemberani, tumbuh dari ibu yang berani.

2. Nggak usah capek-capek kuliah. Biaya mahal! Ujung-ujungnya wanita itu cuma kasur, dapur dan sumur!

Kasihan. Apakah kalian tidak berpikir bahwa populasi wanita di dunia lebih banyak dibandingkan laki-laki? Terus apa jadinya, kalau populasi orang berpendidikan lebih sedikit dibandingkan yang tidak berpendidikan?

Itulah manfaatnya emansipasi. Emansipasi bukan berarti merendahkan derajat laki-laki karena wanita bisa sama tingginya, melainkan bisa berjalan beriringan, bersamaan, saling mendukung satu sama lain.

Wanita juga punya hak yang sama untuk belajar, untuk cerdas, untuk aktif, untuk berpendidikan. Karena siapapun wanita itu, akan jadi sekolah pertama untuk anak-anaknya sendiri. Ya, sesederhana itu.

3. Capek-capek kuliah kok jadi pengangguran.

Stigma yang ketiga, kurang lebih paitnya begini : "Kelar kuliah langsung nikah.". Dan ini dianggap sebagai sarjana/master yang gagal. Karena apa? Karena mereka nggak bekerja di kantor-kantor besar sebagaimana stigma masyarakat saat ini bahwa bekerja di perusahaan guede adalah lambang kesuksesan.

Sementara yang memilih menikah atau resign dari jabatannya dianggap pengangguran. Hai, padahal ini adalah bentuk pengabdian untuk keluarga. Dan ini sangat mulia. Lagian, biasanya, mama mama yang berpendidikan itu nggak nganggur, kok. Sepengetahuan saya, dari yang temen-temen saya jalanin, mereka ada yang freelance, ada yang buka usaha sendiri, ada yang aktif di kegiatan-kegiatan sosial. 

Semuanya untuk apa? Bukan untuk nyari duit, tapi untuk menyalurkan ilmunya supaya bermanfaat buat orang banyak! 

Nah, makanya, kalo ada laki-laki yang nggak ngebolehin kamu ikut kegiatan ini itu cuma gara-gara insecure atau posesif, jangan mau! Set kompromi dari sebelum menikah, bahwa kamu akan selalu mengikuti passionmu untuk A, B, C, D. Selama itu positif, why not? Dibicarakan baik-baik untuk kesepakatan bersama, karena kalau nanti udah menikah, sebagai wanita mau nggak mau kita harus nurut sama si suami. Kalo enggak, dosa!

Atau minimal, kalau kerja, mereka si wanita-wanita berpendidikan itu akan lebih 'legowo' memilih pekerjaan yang waktunya fleksibel. Dosen, freelancer, atau penulis, misalnya. Pait-paitnya, kalau mereka emang bener-bener jadi full time mommy, ngurus anak dan suami 24 jam 7 hari udah kayak jam buka Sevel, apa iya pantes disebut pengangguran :|

Oh ya, tulisan ini juga saya buat karena keinget pas diskusi bareng dosen wanita favorit saya waktu kuliah dulu sih. Dan kami menyepakati bahwa wanita itu nggak melulu di-set sama laki-laki. Wanita juga berhak untuk aktif dimanapun untuk mengembangkan ilmunya, kredibilitasnya, aktualisasi dirinya.

Suami mana sih yang nggak bangga kalau istrinya berprestasi? Maka, tarik garis lurus dengan suami yang membatasi istrinya melakukan ini itu karena insecure. NGESELIN. Haha.

4. Jangan sekolah tinggi tinggi! Jangan pinter-pinter! Nanti nggak laku! Cowok pada minder, nggak ada yang mau!

Saya juga nggak mengerti sama stigma ini. Menurut kalian dimana yang salah? :|
Saya pribadi pernah di-jleb-in sama statement dari temen saya, "Jadi cewek jangan pinter-pinter. Kalo udah pinter ntar bingung mau ngapain lagi. Susah dapet jodoh, loh." 

Ya awalnya sih takut dengernya, secara bawa-bawa kata 'susah dapet jodoh'. Seremnya ngalah-ngalahin pilem horror kan! Cuma setelah saya pikir ulang, asalkan kita niat belajar karena Allah, ada usaha, doa, ikhtiar untuk dapetin jodoh sesuai harapan kita, masa iya Allah nggak ngasih yang terbaik untuk kita? Tapi ya, kembali ke masing-masing juga sih.

***

Intinya sih, sebagai perempuan, wanita, cewek, kita harus selalu ingat, bahwa tugas dan tanggung jawab kita nantinya adalah sebagai seorang istri dan juga ibu. Udah qodarnya, kita harus dituntut multitasking untuk bisa masak, ngurus anak, jadi guru untuk anak di rumah, ngurusin suami, rapih-rapih rumah, profesional dalam bisnis atau kerjaan, aktif di kegiatan-kegiatan sosial, sampai menjaga hubungan dan komunikasi dengan keluarga besar. 

Entah itu working mom, mompreneur, atau full time mommy, kalian semua menginspirasi saya! Para Mama/Ibu yang mengabdikan dirinya pakai hati, nggak akan pernah merasa berat untuk menjalani hidupnya dengan multi tasking. Se-riweuh apapun, keluarga tetap prioritas. 

Pendidikan, karir, keluarga, semuanya menjadi yang utama. Tidak ada yang boleh dikorbankan. Yang harus berkorban, adalah kita. Wanita yang bersahaja dengan pengabdiannya.

Salam,
Calon mama cerdas dan pemberani. Baca juga cerita wisuda gue disini. 
Aminin dong! :))

You Might Also Like

0 Comments