Anak Juga Manusia : Lihatlah Aku
9:05 AM
LIHATLAH AKU
Dikutip dari buku : Anak Juga Manusia
Ayah, Ibu, tolong jangan risaukan apa yang belum dapat aku lakukan. Lihatlah apa yang sudah kulakukan, lihatlah lebih banyak kelebihanku.
Ayah, Ibu, aku memang belum bisa berhitung. Tetapi lihatlah aku, aku bisa benyanyi dan selalu tersenyum ceria.
Ayah, Ibu, jangan keluhkan aku jika aku tidak bisa diam. Lihatlah energiku ini, bukankah kalau aku menjadi pemimpin nanti aku butuh energi sebesar ini?
Ayah, Ibu, jangan kau bandingkan aku dengan anak lain. Lihatlah aku, tak pernah membandingkanmu dengan orang tua lain. Aku hanya satu.
Ayah, Ibu. Jangan bosan dengan pertanyaan-pertanyaanku. Lihatlah besarnya rasa ingin tahuku. Aku belajar banyak dari rasa ingin tahu.
Ayah, Ibu. Jangan bentak-bentak aku. Lihatlah, aku punya perasaan, seperti engkau juga memilikinya. Aku sedang belajar memperlakukanmu kelak.
Ayah, Ibu. Jangan ancam-ancam aku, seperti engkau juga yang tentu tidak suka apabila diancam orang lain. Lihatlah, aku sedang belajar memahami keinginanmu.
Ayah, Ibu. Jangan lihat kemampuanku yang rata-rata. Lihatlah aku melakukannya dengan jujur. Lihatlah aku sudah berusaha untuk itu.
Ayah, Ibu. Aku memang belum dapat membaca. Tapi lihatlah, aku dapat bercerita, pada saatnya aku akan bisa. Aku hanya butuh engkau percaya.
Ayah, Ibu. Aku memang kurang mengerti matematika. Tapi lihatlah, aku suka berdoa, dan aku senang sekali mendoakan yang terbaik untukmu.
Aya, Ibu. Aku memang banyak kekurangan. Tapi aku juga banyak kelebihan. Bantu aku agar kelak kelebihanku dapat berguna bagi sesama.
Ayah, Ibu. Hubungan kita sepanjang zaman. Bantu aku mengenalmu dengan cara aku belajar bagaimana engkau mengenalku.
Ayah, Ibu. Aku ingin mengenangmu sebagai yang terbaik. Ajari aku dan lihatlah yang terbaik dari diriku sehingga aku bangga menyebut namamu.
Ayah, Ibu. Semoga kita selalu punya cukup waktu untuk saling mengenal dan memahami. Aku belajar melihatmu dari cara engkau melihatku.
***
***
Meski usia saya baru menginjak 21 tahun, tapi saya memiliki ketertarikan tersendiri terhadap dunia parenting, khususnya dalam perkembangan psikologis anak. Bahkan, ketertarikan tersebut muncul sejak saya duduk di bangku SMA. Entahlah, mungkin ini semua terbentuk dari aktivitas sosial saya yang sudah menjadi relawan pengajar sejak kelas 2 SMP. Saya suka anak-anak, dan banyak berinteraksi dengan anak-anak. Meskipun saat itu usia saya masih sangat belia, setidaknya saya harus kelihatan 'sok tua' agar bisa mengayomi adik-adik yang saya ajarkan waktu itu.
Begitu juga dalam lingkungan sekitar saya. Pola pikir analisis saya berjalan dengan sendirinya ketika menemui beberapa kejadian tentang hubungan anak dengan orang tuanya, baik yang buruk ataupun menyenangkan. Tak jarang, analisis tersebut juga sering terjadi dalam hati saya sendiri, ketika saya mengalami hal-hal yang Alhamdulillah selalu menyenangkan bersama kedua orang tua saya.
Yap, saya juga sangat suka membaca buku-buku pola pengasuhan anak, parenting, serta persiapan menjadi orang tua yang baik. Ya, sebaik mungkin, bukan sempurna :)
Beberapa kali saya merekomendasikan buku 'Anak Juga Manusia' di Instagram saya. Beberapa kali juga saya ingin sekali meresensi buku tersebut di blog ini. Namun apa daya, akhirnya pada hari ini saya sedikit mengulas tentang puisi yang menjadi bagian paling menyentuh dari buku tersebut.
Bercucuran air mata? Pasti. Saya berulang kali membacanya. Bahkan ketika menuliskannya pada blog ini, saya kembali menangis.. Terutama pada statement jangan bentak-bentak aku... jangan ancam-ancam aku...
Tak jarang nada tinggi, kata kasar, membentak, mencemooh orang lain sering dilakukan tanpa disadari. Bahkan kepada anak sendiri. Dulunya saya berpikir bahwa hal tersebut adalah hal yang wajar. Orang tua itu pikirannya banyak, pekerjaan, kehidupan sosial, ngatur keuangan, dan pastinya mengurus anak yang membutuhkan tanggung jawab serta effort yang besar..
Tapi lama kelamaan saya menyimpulkan, bahwa ego dan emosi yang kemudian memuncak pada nada tinggi dan mood yang buruk, hanya muncul dari diri orang tua itu sendiri. Ya, menjadi orang tua bukan hanya sekedar menjalankan tanggung jawab semata saja, tapi juga punya kewajiban untuk mengatur emosi serta ego pribadi.
Sejatinya,
Anak adalah akibat dari suatu rangkaian perlakuan yang mereka terima, baik dalam keluarga maupun lingkungan sekitar. Mereka adalah respon dari apa yang mereka lihat, dengar dan rasakan.
Logically, kita semua juga pasti paham, bahwa kebahagiaan dan kebencian adalah suatu hal yang menular.
Dua hal (kebahagiaan dan kebencian) yang sangat krusial dalam kehidupan itu memang memiliki sumber yang beraneka ragam. Tapi sadarkah, bahwa sumber yang paling utama atas sikap anak, suasana hati anak, kebahagiaan anak, berawal dari keluarga?
Ya, keluarga adalah rumah. Keluarga adalah kelompok yang paling pertama ditemui oleh masing-masing anggota keluarga tersebut.
Keluarga adalah ujung tombak dari sebuah kebahagiaan psikis yang pada dasarnya merupakan kebutuhan..
Jika sejak pagi anak sudah menerima umpatan, amarah, bentakan, nada kasar dan lain sebagainya, dikhawatirkan psikologi anak bisa terganggu. Anak memang cenderung diam, tapi hatinya tetap bergejolak. Ia bisa tumbuh menjadi anak yang apatis, kurang tanggap, bahkan emosional secara berlebihan.
Belum lagi, proses menularnya kebencian yang ditebar melalui bentakan pada anak. Anak akan merasa tidak semangat bersekolah karena merasa tidak dihargai dan dipedulikan, anak akan malas belajar, malas bersosialisasi dengan lingkungannya karena sifat apatis tadi, dan seterusnya. Ya, itulah salah satu gambaran kebencian yang menular.
Bayangkan, jika sejak pagi rasa pengertian dan saling menghargai sudah ditanamkan pada hubungan antara orang tua dan anak. Anak akan semangat pergi ke sekolah, cepat tanggap, semakin giat belajar, sopan santun pada gurunya, selalu terlihat antusias, bisa "seru" dengan teman-teman dalam lingkungan sosialnya, dan seterusnya.
Yap, rasa saling pengertian dan saling menghargai tetap harus hadir dari orang tua terhadap anak. Mengingat anak bukanlah 'bawahan' kita sementara kita adalah bosnya.
Anak bukanlah barang yang kita pesan dari katalog yang sudah ada buku panduannya.
Anak bukanlah patung yang bisa kita pahat sesuai dengan kemauan kita.
Anak bukanlah makhluk yang kehadirannya justru membuat hidup kita semakin rumit.
Anak bukan sebuah robot yang harus selalu mengikuti kemauan kita dari A-Z.
Anak juga manusia, mereka punya hati dan perasaan. Mereka punya keinginan dan harapan. Bisa merasakan sedih, putus asa, bahkan bahagia dari hatinya yang paling dalam.
Hargai mereka dengan mengarahkan dan memberikan pengertian melalui cara dan pendekatan yang baik. Jadikan dia teman, sahabat. Bukan musuh, saingan, atau bahkan bawahan.
Anak tidak membutuhkan orang tua yang sempurna. Mereka justru membutuhkan teman yang bersedia untuk tumbuh dan belajar bersamanya, saling mengenal, saling mengerti, menghargai, berempati.. selama berapapun waktu yang diberikan oleh Sang Pencipta.
0 Comments